Bagaimana hukum menshalatkan orang
yang mati bunuh diri, boleh atau tidak?
Bunuh diri
termasuk dosa besar. Terdapat ancaman keras terhadap pelakunya. Tetapi ia belum
keluar dari Islam, menurut keyakinan Ahlus Sunnah Waljama'ah. Bagi kaum
muslimin boleh/disyariatkan menshalatkannya berdasarkan nash yang sangat jelas
tentang bolehnya hal itu, walaupun bagi tokohnya dari kalangan ulama dan pemuka
untuk tidak menshalatkannya sebagai bentuk pengingkaran terhadap perbuatan
pelakunya dan pencegahan terhadap yang selainnya.
Imam Muslim
meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'Anhu
berkata:
أتى انبى صلى
الله عليه وسلم يرجل قتل نفسه بمشاقص فلم
يصل عليه
"Ada
seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah dibawa kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam, maka beliau tidak mau menyalatkannya." (HR. Muslim)
Imam Al-Nawawi rahimahullah
dalam menjelaskan hadits ini mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat dalil
bagi berpendapat tidak dishalatkannya orang yang bunuh diri karena maksiatnya.
Ini adalah madhab Umar bin Abdul Aziz dan al-Auzai. Sementara pendapat al-Hasan
(al-Bashri), al-Nakha'i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, al-Syafi'i, dan jumhur
ulama: ia shalatkan. Mereka menjawab hadits ini, Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam tidak menyalatkannya sebagai peringatan bagi manusia agar tidak
berbuat seperti dia, sedangkan para sahabat tetap menyalatkannya. Kasus ini
seperti saat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mau menyalatkan
orang yang masih meninggalkan hutang, sebagai peringatan bagi mereka agar tidak
gampang berhutang dan meremehkan membayar hutang, namun beliau tetap
memerintahkan sahabatnya untuk tetap menyalatkannya, beliau bersabda: Shalatkan
sahabat kalian ini."
Kemudian Imam
al-Nawawi menukil perkataan al-Qadhi 'Iyadh, "Madhab ulama secara
keseluruhan: menyalatkan atas setiap muslim yang (mati karena) had, dirajam,
bunuh diri, dan anak zina. Keterangan dari Imam Malik dan lainnya, seorang imam
(ulama/pemimpin) tidak ikut menyalatkan orang yang dibunuh karena had
sebagaimana orang terpandang (mulia) tidak menyalatkan orang fasik sebagai
peringatakan bagi mereka."
Pada ringkasnya,
orang yang mati bunuh diri, -menurut pendapat yang rajih- tetap dishalatkan,
walaupun ia benar-benar sehat akalnya dan sadar atas setiap apa yang ia ucapkan
dan perbuat. Inilah pendapat madhab Syafi'i, Hambali, Hanafi, Maliki, dan
Zahiri.
Imam Nawawi
berkata dalam al-Majmu':
"Siapa
yang bunuh diri atau curang (menilep) ghanimah, menurut madhab kami, ia
dimandikan dan dishalatkan. Ini juga madhab Abu Hanifah, Malik Dawud. Imam
Ahmad berkata: Imam tidak menyalatkan keduanya sementara kaum muslimin yang
lainnya tetap menyalatkannya."
Ibnu Hazm
berkata dalam al-Muhalla, " . . . dan dishalatkan setiap muslim yang
baik atau yang jahat; yang dibunuh karena had, peperangan, atau dalam
pemberontakan. Imam dan selainnya juga menyalatkan mereka walaupun ia
seburuk-buruk manusia di atas bumi, (yakni) apabila ia meninggal sebagai
muslim."
Kesimpulan ini
juga didasarkan pada keumuman perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
"Shalatkanlah sahabat kalian." Dan seorang muslim adalah sahabat
kita. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Dan juga, "Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain." (QS. Al-Taubah: 71)
Sesungguhnya
orang fasik selama masih muslim sangat-sangat membutuhkan doa saudaranya yang
seiman, yakni kaum mukminin. Terlebih istighfar mereka. Dan doa serta istighfar
mereka benar-benar bermanfaat bagi si fasik tadi selama masih muslim. Karenanya
jika ada seorang muslim, -yang karena lemah imannya, ia bunuh diri-, tetaplah
disyariatkan untuk menyalatkannya. Wallahu Ta'ala A'lam.
No comments:
Post a Comment