Ini adalah aktifitas yang dibenci jika
dilakukan di dalam shalat, walau tidak membatalkannya, tetapi hendaknya
ditinggalkan demi kesempurnaan shalat kita.
1.
Mempermainkan
Baju Atau Anggota Badan Kecuali Jika Ada Keperluan
عن معيقب قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن
مسح الحصى في الصلاة فقال: (لا تمسح الحصى وأنت تصلي فإن كنت لابد فاعلا فواحدة:
تسوية الحصى) رواه الجماعة.
Dari Mu’aiqib, dia berkata: Aku
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang meratakan
kerikil ketika shalat. Maka Beliau menjawab: “Janganlah meratakan kerikil
ketika shalat, tapi jika terpaksa meratakannya, cukuplah dengan meratakannya
sekali hapus saja.” (HR. Muslim No. 546, dan lainnya)
Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam
kitab Shahihnya, dengan judul Karahah Masaha Al Hasha wa
Taswiyah At Turab fi Ash Shalah (Makruhnya Mengusap Kerikil dan Meratakan
Tanah ketika Shalat).
Riwayat lain:
وعن أبي ذر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا
قام أحدكم إلى الصلاة فإن الرحمة تواجهه فلا يمسح الحصى) أخرجه أحمد وأصحاب السنن.
Dari Abu Dzar, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian mendirikan shalat,
maka saat itu dia sedang berhadapan dengan rahmat (kasih sayang), maka
janganlah dia meratakan kerikil.” (HR. At Tirmidzi No. 379, Abu Daud No.
945, Ahmad No. 21330, 21332, 21448, 21554, Ibnu Majah No. 1027, Ibnul
Mubarak dalam Az Zuhd No. 1185, Ibnu Khuzaimah No. 913, 914, Ad Darimi
No. 1388, Ibnu Hibban No. 2273, Al Baghawi No. 663, Ath Thabarani dalam Musnad
Asy Syamiyin No. 1804, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No.
1427)
Imam At Tirmidzi menghasankan
hadits ini, dan diikuti oleh Imam Al Baghawi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: isnadnya memungkinkan untuk dihasankan. (Tahqiq Musnad
Ahmad No. 35/259). Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menshahihkannya. (Bulughul
Maram Hal. 48. Darul Kutub Al Islamiyah)
Adapun Syaikh Al Albani mendhaifkan
hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 613, Tahqiq
Misykah Al Mashabih No. 1001, dan lainnya)
Penyebab terjadinya perbedaan dalam
menilai hadits ini adalah disebabkan adanya seorang rawi bernama Abu Al
Ahwash. Tidak ada orang yang meriwayatkan darinya kecuali Imam Az
Zuhri, dan Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat
(Orang-Orang Terpercaya).
Sedangkan Imam An Nasa’i mengatakan: kami
tidak mengenalnya. Imam Ibnu Ma’in mengatakan: dia bukan apa-apa.
Imam Yahya bin Al Qaththan mengatakan: tidak diketahui keadaannya.
Begitu pula Imam Al Hakim: “Laisa bil matiin ‘indahum - Tidak kuat
menurut mereka (para ulama).” (Tahqiq Musnad Ahmad No. 35/259)
Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang bernama Yasar yang ketika
shalat meniup-niup tanah.
ترب وجهك لله
“Perdebukanlah wajahmu
untuk menyembah Allah.” (HR. Ahmad No. 26572)
Syaikh
Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid/baik. (Fiqhus
Sunnah, 1/268)
Syaikh
Al Albani mengoreksi Syaikh Sayyid Sabiq dengan mengatakan:
كلا ليس بجيد فإن فيه عند أحمد وغيره أبا صالح
مولى آل طلحة ولا يعرف كما قال الذهبي وأشار الحافظ إلى أنه لين الحديث
“Tidak, hadits ini tidak jayyid,
karena di dalamnya –pada irwayat Ahmad dan selainnya- terdapat Abu Shalih
pelayan keluarga Thalhah, dan dia tidak dikenal sebagaimana dikatakan Adz
Dzahabi, dan Al Hafizh (Ibnu Hajar) mengisyaratkan bahwa hadits ini layyin (lemah).”
(Tamamul Minnah Hal. 313)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga
mengatakan: isnaaduhu dhaif- isnadnya lemah. (Tahqiq Musnad Ahmad,
44/196)
2.
Bertolak
Pinggang
عن أبي هريرة قال: نهى رسول الله صلى الله عليه
وسلم عن الاختصار في الصلاة.
رواه أبو داود وقال: يعني يضع يده على خاصرته.
Dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bertolak pinggang
ketika shalat.” (HR. Muslim No. 545, Abu Daud No. 947, dia berkata: yaitu
meletakkan tangan di atas pinggangnya. Ad Darimi No. 1428, Ibnu Hibban No.
2285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud
No. 947, dan hadits ini menurut lafaz Abu Daud )
Imam At Tirmidzi mengatakan:
وقد كره قوم من أهل العلم الاختصار في الصلاة.
والاختصار هو أن يضع الرجل يده على خاصرته في الصلاة. وكره بعضهم أن يمشي الرجل
مختصرا ويروى أن إبليس إذا مشى يمشي مختصرا.
“Sekelompok
ulama telah memakruhkan bertolak pinggang ketika shalat. Bertolak pinggang
adalah seseorang yang meletakkan pinggangnya ketika shalat. Sebagian mereka
memakruhkan seseorang yang berjalan sambil bertolak pinggang. Diriwayatkan
bahwa Iblis jika berjalan dia sambil bertolak pinggang.” (Sunan At Tirmidzi
No. 381)
Sementara Imam An Nawawi Rahimahullah
menuliskan:
قِيلَ : نَهَى عَنْهُ لِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُود .
وَقِيلَ : فِعْل الشَّيْطَان . وَقِيلَ : لِأَنَّ إِبْلِيس هَبَطَ مِنْ الْجَنَّة
كَذَلِكَ ، وَقِيلَ : لِأَنَّهُ فِعْلُ الْمُتَكَبِّرِينَ .
“Disebutkan:
hal itu dilarang karena merupakan perbuatan Yahudi. Disebutkan: perbuatan
syetan. Disebutkan pula: karena iblis diusir dari surga dengan seperti itu.
Dikatakan pula: itu adalah perilaku orang sombong. (Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 2/310. Mawqi’ Ruh Al Islam)
3.
Menengadahkan
Wajah Ke Langit-Langit
عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم:
(لينتهين أقوام يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة أو لتخطفن أبصارهم)
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya orang-orang itu menghentikan
perbuatannya menengadahkan pandangan ke langit ketika shalat, atau jika tidak,
niscaya tercungkillah mata mereka!” (HR. Muslim No. 428, Abu Daud No. 912,
Al Baihaqi, As Sunannya No. 3351, Abu Ya’ala No. 7473, Ibnu Abi Syaibah,
Al Mushannaf, 58/3, hadits ini diriwayatkan melalui berbagai sahabat
dengan redaksi yang sedikit berbeda, yakni dari Abu Hurairah, Anas, dan Jabir
bin Samurah)
Imam An Nawawi Rahimahullah
menjelaskan:
فِيهِ النَّهْي الْأَكِيد وَالْوَعِيد الشَّدِيد
فِي ذَلِكَ وَقَدْ نَقَلَ الْإِجْمَاع فِي النَّهْي عَنْ ذَلِكَ . قَالَ الْقَاضِي
عِيَاض : وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَة رَفْع الْبَصَر إِلَى السَّمَاء فِي
الدُّعَاء فِي غَيْر الصَّلَاة فَكَرِهَهُ شُرَيْح وَآخَرُونَ ، وَجَوَّزَهُ
الْأَكْثَرُونَ ، وَقَالُوا : لِأَنَّ السَّمَاء قِبْلَة الدُّعَاء كَمَا أَنَّ
الْكَعْبَة قِبْلَة الصَّلَاة ، وَلَا يُنْكِر رَفْع الْأَبْصَار إِلَيْهَا كَمَا
لَا يُكْرَه رَفْع الْيَد . قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَفِي السَّمَاء رِزْقكُمْ
وَمَا تُوعَدُونَ } .
“Dalam
hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan
itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ (konsensus) atas larangan hal
tersebut. Berkata Al Qadhi ‘Iyadh: para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan
menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu shalat. Syuraih dan
lainnya memakruhkan hal itu, namun mayoritas ulama membolehkannya. Mereka
mengatakan: karena langit adalah kiblatnya doa sebagaimana ka’bah adalah
kiblatnya shalat, dan tidaklah diingkari menengadahkan pandangan kepadanya sebagaimana
tidak dimakruhkan pula mengangkat tangan (ketika berdoa). Allah Ta’ala
berfirman: “Dan di langit adanya rezeki kalian dan apa-apa yang
dijanjikan (kepada kalian).” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/171.
Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara Imam Ibnu Bathal Rahimahullah
menerangkan:
العلماء مجمعون على القول بهذا الحديث وعلى كراهية
النظر إلى السماء فى الصلاة ، وقال ابن سيرين : كان رسول الله مما ينظر إلى السماء
فى الصلاة ، فيرفع بصره حتى نزلت آية إن لم تكن هذه فما أدرى ما هى : ( الذين هم
فى صلاتهم خاشعون ) [ المؤمنون : 2 ] ، قال : فوضع النبى رأسه .
“Ulama
telah ijma’ bahwa hadits ini merupakan dasar bagi pendapat makruhnya
memandang langit ketika shalat. Ibnu Sirin mengatakan: Bahwa Rasulullah pernah
memandang ke langit ketika shalat, Beliau menaikan penglihatannya sehingga
turunlah ayat yang jika hal ini tidak terjadi saya tidak tahu apa maksud ayat:
“Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun (23): 2), dia
berkata: “Maka Rasulullah menundukkan kepalanya.” (Imam Ibnu Bathal, Syarh
Shahih Bukhari, 2/364. Cet. 3. 2003M-1423H. Maktabah Ar Rusyd, Riyadh)
4.
Melihat
Sesuatu Yang Dapat Melalaikan
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في
حميصة لها أعلام فقال: (شغلتني أعلام هذه، اذهبوا بها إلى أبي جهم واتوني بأنبجانيته) رواه البخاري ومسلم.
Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam shalat memakai pakaian berbulu yang bergambar, lalu dia
bersabda: “Gambar-gambar ini mengganggu pikiranku, kembalikan ia ke Abu Jahm,
tukar saja dengan pakaian bulu kasar yang tak bergambar.” (HR. Bukhari
No. 752, Muslim No. 556)
عن أنس قال: كان قرام لعائشة سترت به جانب بيتها فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم:
(أميطي قرامك، فإنه لا تزال تصاويره تعرض لي في صلاتي
Dari Anas, dia berkata: ‘Aisyah punya
tirai tipis yang dipasang di depan pintu rumahnya maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: Turunkanlah tiraimu itu, karena
gambar-gambarnya menggangguku dalam shalatku.” (HR. Bukhari No. 367, 5614)
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
وفي هذا الحديث دليل على أن استثبات الخط المكتوب
في الصلاة لا يفسدها.
“Dalam
hadits ini terdapat dalil bahwa memakai pakaian bergambar tidaklah membatalkan
shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/269. Darl Kitab Al ‘Arabi)
Ya, namun hal itu makruh
lantaran berpotensi merusak kekhusyukan shalat.
5.
Memejamkan
Mata
Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat,
antara memakruhkan dan membolehkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
تغميض العينين: كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة،
والحديث المروي في الكراهة لم يصح
“Memejamkan
mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak
makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” (Fiqhs
Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Para
Ulama Yang Memakruhkan
Imam Al Baihaqi dalam
As Sunan Al Kubra, mengatakan:
وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض
العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ
“Kami
meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan
memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan
hadits tersebut tidak ada apa-apanya.” (As Sunan Al Kubra, 2/284)
Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats
Tsauri. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)
Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam
Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad
Dimyathi, dan lainnya.
Alasan pemakruhannya adalah karena
memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru
mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah.
Para
Ulama Yang Membolehkan
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari
Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:
سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن
شئت.
“Aku
mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang
memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau mau.” (Al
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)
Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang
pendapat Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu:
وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة
“Berkata
Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” (Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)
Semua sepakat bahwa memejamkan mata
tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan
mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal
yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang
larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan
diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal
itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam
hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.
Maka,
pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah
seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai
berikut:
وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ
أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ
أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال:
إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع
لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره
التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من
القول بالكراهة، والله أعلم.
“Para
fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya
memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang
lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa
mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat,
rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai
kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak
membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya
yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i (meyakinkan)
memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam
kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya,
dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.” (Zaadul
Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)
6.
Memberikan
Isyarat Dengan Tangan Ketika Salam
Hal ini banyak dilakukan orang awam.
Mereka membuka tangan kanannya dan membalikkannya ketika salam pertama
dan begitu pula dengan tangan kiri ketika salam kedua.
Dari Jabir bin Samurah, katanya:
كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما
بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول:
السلام عليكم السلام عليكم) رواه النسائي وغيره وهذا لفظه.
“Kami
shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda:
“Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak
ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas
pahanya, lalu mengucapkan: Assalamu ‘Alaikum, Assalamu ‘Alaikum. “ (HR. An
Nasa’i No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185)
7.
Menutup
Mulut dan Menjulurkan Kain Sarung/Gamis/Celana Panjang Hingga Ke Tanah
عن أبي هريرة قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السدل في
الصلاة، وأن يغطي الرجل فاه
“Dari
Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melarang menjulurkan kain ke bawah ketika shalat dan seseorang menutup
mulutnya.” (HR. Abu Daud No. 643, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,
No. 3125, Ibnu Khuzaimah No. 772, dan Hakim No. 631, katanya shahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahihul Jami’ No. 6883)
Apa
Maksudnya?
قال الخطابي: السدل إرسال الثوب حتى يصيب الارض،
وقال الكمال بن الهمام: ويصدق أيضا على لبس القباء من غير إدخال اليدين في كمه.
Berkata Al Khathabi: Menurunkan kain
maksudnya menjulurkannya hingga menggeser di tanah. Berkata Kamaluddin Al
Hummam: Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan baju tanpa memasukkan tangan
ke lobang tangannya. (Fiqhus Sunnah, 1/270)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah
mengatakan:
وقد اختلف أهل العلم في السدل في الصلاة. فكره
بعضهم السدل في الصلاة وقالوا هكذا تصنع اليهود وقال بعضهم: إنما كره السدل في
الصلاة إذا لم يكن عليه إلا ثوب واحد، فأما إذا سدل على القميص فلا بأس وهو قول
أحمد. وكره ابن المبارك السدل في الصلاة.
“Para
ulama telah berbeda pendapat tentang menjulurkan kain dalam shalat. Sebagian
mereka memakruhkannya, mereka mengatakan itu adalah perbuatan Yahudi. Sebagian
lain mengatakan bahwasanya pemakruhan itu hanya jika menggunakan satu pakaian
saja, ada pun jika yang dijulurkan pakaian itu adalah sebagai bagian luar
dari gamis, maka tidak apa-apa, ini adalah pendapat Ahmad. Ibnul Mubarak
memakruhakan menjulurkan kain dalam shalat.” (Sunan At Tirmidzi
No. 376)
8.
Shalat
Ketika Makanan Telah Tersedia Dan Menahan Buang Air Besar dan Buang Air
Kecil
Dari ‘Aisyah Radhiallah ‘Anha
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ
يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat
ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan
buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim No. 559, Abu Daud No. 89, Al
Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4816, Ibnu Khuzaimah No. 933, Ibnu
Hibban No. 2072, dari Abu Hurairah, tanpa kalimat: “tidak ada shalat ketika
makanan sudah terhidangkan.”)
Hadits ini diperkuat oleh hadits
berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ
الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا
يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari Ibnu Umar dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika telah
dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan
malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.” Ibnu Umar pernah
dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya
sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan
Imam.” (HR. Bukhari No. 640,641,642, Muslim No. 557, 558,559, 560.
Ibnu Majah No. 933, 934)
Imam
An Nawawi Rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة
بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال
الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة
الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا : الْبَوْل وَالْغَائِط ، وَيَلْحَق بِهَذَا مَا كَانَ فِي
مَعْنَاهُ يَشْغَل الْقَلْب وَيُذْهِب كَمَال الْخُشُوع
“Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan
melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena
hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan
juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk,
yaitu kencing dan buang air besar. Karena hal ini mencakup makna
menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” (Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 2/321. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Bahkan kalangan
madzhab Zhahiriyah menganggap batal shalat dalam keadaan seperti itu:
وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر
أَنَّهَا بَاطِلَة
“Dinukil oleh
Al Qadhi ‘Iyadh dari ahluzh zhahir, bahwa hal itu batal shalatnya.” (‘Aunul
Ma’bud, 1/113. Syamilah)
9.
Shalat
Dalam Keadaan Ngantuk
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا
نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر
فيسب نفسه) رواه الجماعة.
Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya
dia tidur dulu hingga hilang rasa ngantuknya, sedangkan jika dia shalat dalam
keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan
caci maki untuk dirinya.” (HR. Al Jama’ah)
وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
(إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول
فليضطجع) رواه أحمد ومسلم.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian bangun malam dan
masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa
yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” (HR. Ahmad dan Muslim)
10. Makmum
Mengkhususkan Tempat Tersendiri Baginya
Dari Abdurrahman bin Syibil, katanya:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَعَنْ افْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوطِنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ كَمَا يُوطِنُ الْبَعِيرُ
“Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari tiga hal, yakni
melarang seseorang ruku atau sujud seperti burung gagak, duduk seperti duduknya
binatang buas, dan seseorang yang menempati tempat tertentu untuk dirinya di
masjid bagaikan unta yang menempatkan tempat tertentu untuk berbaring.” (HR.
Abu Daud No. 862, An Nasa’i No. 1112, Ibnu Majah No. 1429, Ahmad No. 14984,
14985, juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, katanya: shahih,
dan disepakati oleh Adz Dzahabi )
Ada pun Syaikh Al Albani menghasankan
dalam berbagai kitabnya, seperti Misykah Al Mashabih, Ats Tsamar Al
Mustathab, As Silsilah Ash Shahihah, Shahih At Targhib wat Tarhib, Shahih wa
Dhaif Sunan Abi Daud, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif
Sunan An Nasa’i.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menjadikan hadits ini sebagai dalil hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. (Fiqhus
Sunnah, 1/271. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Begitu pula yang dikatakan oleh Imam
Asy Syaukani bahwa hadits ini merupakan dalil makruhnya makmum membiasakan
shalat ditempat khusus. (Nailul Authar, 3/196. Maktabah Ad Da’wah Al
Islamiyah)
Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan
keharaman perilaku makmum yang mengkhususkan tempat tertentu untuk dirinya. (Ats
Tsamar Al Mustathab, Hal. 669. Cet. 1. Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi’)
Demikianlah hal-hal yang dimakruhkan
dalam shalat. Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan bahwa sengaja
meninggalkan sunah-sunahnya shalat juga termasuk perbuatan yang makruh. Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment