Social Icons

Powered by Blogger.

Followers

Search This Blog

Thursday 12 February 2015

Hikmah "Memilih Pendidikan Agama Untuk Kebahagian Anak Kita"


“Denger-denger Umar dapat rangking satu bu?” Nilai terbaik sekabupaten lagi, apa bener itu?” tanya seorang penjual sayur, “ Alhamdulillah, saya juga tidak menyangka Umar bias seperti itu,”  jawab Bu Aisyah sambil tersenyum mendengar anaknya dipuji. “ Wah hebat dong!” sahut Bu Aminah yang sudah dari tadi juga memilih sayuran yang akan ia beli, “ Lalu Umar mau meneruskan sekolah di mana?” tanyanya pada Bu Aisyah. “ Insya Allah mau ke pesantren,” jawab Bu Aisyah singkat. “ Ke pesantren? Apa gak saying bu? Umar kan pintar, nilainya bagus-bagus, tertinggi sekabupaten lagi, kenapa tidak dimasukan ke sekolah negeri favorit saja?” Pertanyaan bernada heran ditanyakan pada Bu Aisyah. Sambil tersenyum Bu Aisyah menjawab, “Enggak bu, Umar sendiri yang minta, dia ingin lebih mendalami ilmu agama.” “Ooowhh…” sahut penjual sayur, Bu Aminah dan beberapa ibu yang dari tadi memperhatikan percakapan tersebut.
Barangkali gambaran cerita di atas tidak asing di masyarakat kita, bahkan kita sendiri mungkin adalah salah satu dari mereka yang merasa kurang setuju dengan apa yang dilakukan Bu Aisyah. Merasa percuma dengan kecerdasaan anak yang luar biasa, jika akhirnya hanya dimasukan ke pesantren saja. Susah mendapatkan pekerjaan, cita-cita menjadi pegawai tidak terwujud dan gambaran masa depan suram lainnya menjadi alas an yang menguatkan pertimbangan.
Memang tidaklah salah menginginkan anak memiliki kesuksesaan dalam urusan dunia, mendapatkan pekerjaan yang layak dan meraih kehidupan yang bahagia. Namun akan memprihatinkan jika ukuran sukses   yang kita pahami hanya diukur dari materi dan dunia yang dimiliki, menjadi pejabat tinggi, meraih kedudukan yang dihormati. Di lain sisi, pemahaman terhadap agamanya, urusan ibadahnya, keyakinan terhadap Allah dan Rosul-Nya tidak ia kuasai dengan benar. Akhirnya banyak yang katanya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi saat menjadi pejabat akhlak dan perbuatannya rusak dan tidak bermartabat. Na’udzubillah.
Di antara manusia ada yang lebih mengutamakan hal yang dhahir (nampak) di dunia dan melupakan urusan yang besar tentang akhirat. Akhirnya banyak diantara orangtua yang rela mengeluarkan banyak harta untuk membiayai les matematika, les computer, dan keterampilan lainnya, namun tidak pernah memikirkan bagaimana bacaan Al-Qur’an buah hatinya.
Alanglah baiknya kita renungi ayat berikut dengan harapan terhindar dari sikap orang kafir terhadap dunia : “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Q.S Ar rum : 7).
Ath-Thobrani rahimahumullah, menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat diatas. Yang di maksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar – benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobaro, 18/462).
Pernyataan di atas dikuatkan oleh Fakhruddin Ar Rozi rahimahumullah “ Imu mereka hanya terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin, yaitu tentang bahaya dunia dan kalau dunia itu terlaknat. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206).
Penulis Al Jalalain berkata, “ Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu mengetahui bagaimana mencari penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok tanam, dan selainnya. Sedangkan mereka benar-benar lalai terhadap akhirat.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Ali bin Abu Thalib radhiyallahianhu pernah berkata, ketika ditanya seseorang tentang keutamaan ilmu disbanding harta, “Ilmu agama itu jauh lebih baik dari pada harta dunia. Hal ini dikarenakan beberapa hal, yaitu :
1.      Ilmu agama itu akan menjagamu (dari keburukan-keburukan). Sedangkan harta dunia, engkaulah yang menjaganya.
2.      Harta dunia akan berkurang dengan dinafkahkan (dibelanjakan). Sedangkan ilmu agama semakin bertambah dengan diinfakkan (yakni diajarkan dan didakwahkan kepada orang lain).
3.      Ilmu agama mendatangkan amal ketaatan bagi pemiliknya di dalam kehidupan (dunia)nya, dan peristiwa – peristiwa indah sesudah kematiannya. Sedangkan kejadian-kejadian yang ditimbulkan oleh harta dunia akan lenyap dan berakhir bersamaan dengan lenyapnya harta dunia. (Miftahu Daari as-Sa’aadah karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah I/123).
Sebagai penutup, masih ingatkan kita dengan wasiat Nabi Ya’qub ‘alaihi wasalam kepada anaknya sebelum meninggal dunia? Beliau masih sempat mengingat tentang perkara besar yang dikhawatirkan pada anak keturunannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “ Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’qub ketika dia berkata kepada anak-anaknya. “Apa yang kamu sembah sepeninggalkanku?“ Mereka menjawab, kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, yaitu Ibrohim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri pada-Nya.” (Q.S Al-Baqoroh:133).
Nabi Ya’qub ‘Alaihi wa salam mengkhawatirkan bagaiman ibadah anaknya, apa yang akan disembah anaknya ketika ia telah tiada, bukan mengkhawatirkan tentang bagaimana mereka mencukupi kehidupan mereka di dunia. Wallahu a’alam bis sowab. (Amir)
Diambil dari : Buletin El Huda Edisi Pertama

No comments:

Post a Comment